Jumat, 09 Januari 2015

Lies For Two



Cast: Bree and Max
Other Cast: Find by yourself
Note: Saya bikin ff ini udah lama. Saya cuma ganti nama cast saja. Maaf ada kesalahan atau typo.
Summary: Akan Selalu Ada yang Terluka Setiap Kali Keputusan Dibuat. Dan Selalu Ada Kebohongan Disetiap Ceritanya.

---


Seorang gadis bertubuh mungil menghentak-hentakan kakinya di trotoar, melongokkan kepalanya; berharap menemukan seseorang ditengah padatnya jalanan Myeongdong kala itu. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada dan sebuah helaan nafas berat keluar begitu saja diantara kedua belah bibir merahnya. Ia menyelipkan helaian rambut ikal-keemasannya kebelakang telinga, membiarkannya terjuntai indah di punggung rampingnya, membingkai sempurna wajahnya dan membuat sosoknya semakin mempesona.

            Udara tenang musim gugur nampaknya tak membuat suasana hatinya membaik.Mungkin, malah membuatnya semakin buruk. Gaun ciffon berwarna beige yang ia kenakan di balik mantel berwarna cokelat kopinya terlihat sangat cocok dengan warna kulitnya, membuat gadis itu nampak seperti malaikat. Namun jauh di dalam hatinya, ia kacau. Ia merasa sangat marah sampai seperti ingin gila. Semuanya berantakan.

            Ia memeriksa ponselnya dan tak mendapatkan apapun yang ia harapkan disana. Tak ada pesan, tak ada telepon masuk, tak ada apa-apa.yang ada hanyalah foto dirinya bersama orang yang ditunggunya, yang diambil lebih dari empat bulan lalu kalau ia tak salah mengingat. Ia kecewa. Jelas. Ini bukanlah kali pertama orang itu telat atau bahkan tak datang sama sekali dalam janjinya.

            “Max, dimana kau?!”Ia menghela nafas dan memutuskan untuk menelepon orang itu. Sayang, setelah lama menunggu teleponnya tersambung, yang ia dengar hanyalah suara operator yang menyatakan nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif dan tak dapat dihubungi saat ini.

            Ia memejamkan matanya kesal sembari memutuskan sambungan teleponnya dan menjejalkan ponselnya kedalam saku mantel yang ia kenakan. Ia bersandar pada etalase toko yang sudah tutup, mengurut-urut dahinya yang terasa berdenyut-denyut sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya lagi untuk menelepon seseorang. Tapi kali ini, ia menghubungi orang lain. 

            “Hey.. Bree, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Seorang gadis dengan nada suara ceria menjawab teleponnya.

            “Lilith, apa Six bersamamu sekarang?” Bree bertanya dengan nada serius seraya ia melangkah menjauhi tempat ia dan Max seharusnya bertemu.

            “Iya, dia bersamaku sekarang.Ada apa?”Butuh waktu cukup lama sebelum Lilith menjawab pertanyaannya dengan nada khawatir yang cukup kentara terdengar dalam suaranya.

            “Aku ingin bicara padanya.”Gadis berambut keemasan itu menjawab dengan sedikit memohon.Ia mendengar suara helaan nafas dan suara ponsel yang disrahkan pada orang lain dari ujung lain sambungan teleponnya.

            “Bree, ada apa?” Suara lembut seorang laki-laki terdengar dari ujung lain sambungan telepon itu. Bree merasa ada sesuatu yang mengganjal dikerongkongannya, seperti ada sesuatu yang tersangkut disana. Ketika Six bicara padanya seperti itu, ia tahu ada suatu yang salah telah terjadi.

            “Six..” Suaranya terdengar lemah dan rapuh saat ia mulai bicara kali ini. “Apa kau tahu diamana Max sekarang? Aku tidak dapat menghubunginya sama sekali dan dia juga tidak menepati janjinya. Lagi.” Tubuhnya bergetar hebat dan ia siap untuk mengangis kapanpun.

            “Maafkan aku Bree..aku benar-benar tidak tau diamana dia sekarang. Tapi, aku pasti akan langsung menghubungimu ketika aku tahu sesuatu tentangnya.”Kata laki-laki itu sebelum Bree memutuskan sambungan teleponnya.

            Yang terakhir Six dengar hanyalah suara helaan nafas berat dan suara yang mirip seperti isakan lalu, ia menyerahkan ponsel yang baru saja ia gunakan kembali pada kekasihnya‑‑-Lilith. Six dan Lilith, mereka berdua menoleh ke arah sofa dihadapan mereka tempat seseorang duduk disana    

Diatas sofa tersebut, seorang pemuda kira-kira seusia mereka duduk dengan raut wajah yang sulit diartikan; sedih, gundah, kecewa bercampur menjadi satu.Rambut karamelnya berantakan, mata yang harusnya terlihat cemerlang kini terlihat letih ditambah dengan kantung mata yang menghitam di bawahnya, kulitnya pucat dan nampak tidak sehat.Six menggeram frustasi, menepuk-nepukan kedua tangan kewajahnya.Ia menolehkan wajahnya ke arah pemuda itu lalu berganti ke arah kekasihnya.

            “Max, apa kau pikir ini tidak keterlaluan?” Six menghentakkan kakinya menuju tempat dimana Max duduk dengan sebelah tangan ia gunakan untuk menopang kepalanya yang terasa sakit. Semua ini membuatnya pusing dan kehabisan akal.

            Sedangkan Max, ia hanya duduk disana tanpa berkata apapun atau bahkan untuk mengerjapkan matanya.Ia hanya duduk disana dengan tatapan kosong dan otaknya hanya terpaku pada pikirannya sendiri. Ia bahkan tak menyadari Six berdiri tepat di hadapannya kalau Lilith tidak meneriakinya.

            “Hey Max! Kau telah cukup menyakiti Bree dan ini adalah terakhir kalinya aku terlibat dalam semua omong kosong ini.Apa kau tahu betapa hancur hatinya sekarang ini, hah? Kau ini-“ Six memeluk kekasihnya, memaksanya untuk berhenti berteriak pada Max.

            Lilith merasa sudah cukup baginya membohongi sahabatnya sendiri, hanya karena Six memohon padanya untuk menutupi semua kekacauan yang telah ditimbulkan olehnya dan Max. Tapi baginya ini sudah melebihi batas: Empat bulan membohongi sahabatnya untuk menutupi masalah Max ini.

            “Lilith..”Six mengusap-usap punggung Lilith untuk menenangkannya. Dia merasa sama tertekannya seperti Lilith melakukan hal ini pada temannya dan memaksa Lilith untuk melakukan ‘kejahatan’ yang sama sepertinya kepada gadis sebaik Bree.

            “Max..” Six melepaskan pelukannya terhadap Lilith setelah ia rasa gadis itu sudah cukup tenang dan membalikan tubuhnya menghadap Max yang lagi-lagi fokus dengan pikirannya sendiri. “Kau harus secepatnya memberi tahu Bree tentang ini.Kau tidak bisa menyembunyikan ini selamanya.”

            Max menghela nafas panjang dan mengangguk lemah. Bahkan dari perspektif ini ia terlihat lebih rapuh. Six Hanya bisa menutup kedua matanya lelah.

---

            Beberapa minggu telah berlalu setelah kejadian malam itu dan Bree masih sama sekali tidak tahu apapun tentang Max. Bahkan mendengar tentangnyapun tidak. Setiap hari, setiap waktu saat ia sedang senggang, ia selalu mencoba untuk menghubungi Max tapi akhirnya akan selalu sama, tak ada jawaban. Tak ada seorangpun yang mengerti akan kekhawatirannya kalau-kalau ada suatu hal buruk terjadi pada diri pemuda itu. Ia sungguh tak ingin jika hal itu terjadi. Ia juga mencoba untuk menemui semua teman-teman Max yang ia tahu untuk menanyakan keadaan pemuda itu, namun hasilnya tetap nihil. Pemuda itu hilang begitu saja tanpa jejak.

            Tentu saja semua hal yang ia lakukan hanya membuat perasaannya semakin kacau. Apakah hubungannya selama ini berakhir sampai disini?Begitu saja tanpa ada satu halpun yang pasti?

            Bree berjalan kearah kelasnya tanpa benar-benar memperhatikan jalan sama sekali. Pikirannya sekarang seperti benang kusut. Tak jarang ia tak sengaja menabrak orang lain atau bahkan tembok. Raut wajahnya kosong, matanya terlihat lelah juga kulitnya pucat karena kurang tidur dan kurang makan. Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti ini ia dapat dengan santainya melakukan semua itu saat bahkan untuk sekedar tersenyumpun ia tak bisa. Ia tak punya alasan untuk melakukan itu sebetulnya.

            Ia duduk di tempat duduknya saat ia akhirnya sampai di kelasnya. Semua teman-temannya segera mengerubunginya setelah melihat keadaan Bree.Dia nampak seperti bukan Bree yang mereka kenal.

            “Bree..” suara Evelyn terdengar lemah. Sangat menyakitkan baginya menyaksikan teman yang seharusnya selalu tersenyum dan ceria nampak kusut seperti ini.

            “Apa yang terjadi padamu?”Blaire, salah satu temannya bertanya sembari mengusap-usap punggung tangannya serta air mata yang mendesak ingin keluar.

            Bree hanya memaksakan senyuman singkat padanya.”aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah belakangan ini.” Dan segera setelahnya senyuman itu hilang begitu saja dari wajahnya.Dia bahkan tidak sanggup untuk sekedar tersenyum kecil lebih dari 10 detik.

            Dan Lilith yang sedari tadi hanya diam lebih tersiksa lagi menyaksikan semua potongan adegan yang terjadi di depan matanya.

---

            Bree sama sekali tidak bicara selama pelajaran berlangsung, pikirannya terpecah dan dia tidak bisa fokus pada materi yang ia pelajari. Ia juga menolak semua tawaran teman-temannya, saat makan siang contohnya, ia lebih memilih untuk berjalan-jalan keliling kampus tanpa tujuan pasti kemana ia akan pergi.

            “Hei Bree!” Eric---teman baik Max memanggilnya saat pemuda itu mendapati Bree berjalan sendirian dengan tatapan kosong di depan kelasnya. “Apa kau baik-baik saja?” Bree hanya mengedikkan bahunya dan pemuda itu mengangguk dan sebenarnya ia tahu betul jawabannya tanpa harus bertanya.

            “Maafkan aku Bree..Aku juga belum menghubunginya lagi sejak beberapa hari yang lalu.” Suara berat pemuda itu terdengar semakin berat seraya ia menundukkan kepalanya. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, bingung bagaimana ia harus mengatakannya. “Hng, aku rasa aku harus mengatakan ini walaupun aku sebenarnya tidak boleh mengatakannya.Tapi aku tidak tahan melihatmu terluka seperti ini.Six bilang, Max tinggal bersamanya di apartemennya beberapa bulan terakhir ini. Sesuatu terjadi padanya tapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kecuali Six.”

            Bree seketika merasakan sesak merasuki dadanya, jadi selama ini Max menghindarinya? Dan Six tahu apa yang terjadi dan berarti Lilith juga mengetahui hal yang sama tapi ia tak memberi tahunya. Mungkin saja Six yang memaksanyanya untuk tutup mulut, tapi… tetap saja. Apakah teman harus bersikap seperti itu?Terlebih yang Lilith rahasiakan adalah sesuatu yang menyangkut dirinya.

            “Aku minta maaf karena aku idak dapat membantumu lagi.”Kekhawatiran terpatri di wajah pemuda itu.

            Bree mengangguk lalu pergi.Dan suara berat Eric membuatnya berhenti lagi.

            “Hey Bree..tolong tersenyumlah karena kau terlihat cantik saat kau tersenyum.”

---

            Hatinya terasa sakit ketika ia megingat kalimat terakhir yang diutarakan oleh Eric. Itulah kalimat yang sering di ucapkan Max padanya.Harusnya Max yang mengatakan hal itu padanya tadi. Bukan Eric.

            Bree masih berjalan tanpa tujuan sepanjang koridor kampus. Dia tidak peduli jika ia melewati orang-orang yang dikenalnya atau bahkan teman-temannya sekalipun tanpa menyapa mereka sebagaimana mestinya. Dia hanya menatap lantai, mendekap bukunya erat-erat saat tiba-tiba jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya dan ketika ia mendongakkan wajahnya, seketika nafasnya seolah  terhenti melihat pemandangan dihadapannya. Darah mengalir cepat dalam nadi kecilnya, perutnya terasa seperti dikocok-kocok, lalu ia mulai bernafas dengan tidak stabil hanya karena ia melihat Max berdiri tak jauh darinya.

            Max. Rasanya sangat tidak mungkin bagi Bree untuk tidak mengenalinya.Hatinya tahu lebih dulu dibandingkan dengan pikirannya. Wajah yang sama, bentuk tubuh yang sama, tinggi badan yang sama serta cara berjalan yang masih tetap sama. Rambut karamel dan mata cokelat cemerlang yang sama namun kini terasa berbeda. Matanya terlihat letih, kosong, hampa dan… terluka.

            “Max..”Bree memanggilnya ketika mereka cukup dekat---dan cukup bagi baekhyun untuk mendengar---tapi suaranya terpecah saat pemuda itu berjalan melewatinya tanpa meliriknya sedikitpun.

            Semua yang ia rasakan tadi sirna begitu saja karenanya. Tak pernah ia merasa se-hampa dan sedingin ini sebelumnya. Dunianya seakan hancur ketika Max mengacuhkannya. Tapi Bree tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja. Tidak, tanpa penjelasan apapun.

            Bree membalikan badannya penuh dengan kesengsaraan, menggenggam lengannya dengan cengkraman lemah.Dan Max menghentikan langkahnya, membalikkan badannya, menghadap gadis itu.

            “Max..”Gadis itu memanggil namanya lagi dengan lembut dan penuh cinta yang membuat hati Baekhyun hancur ketika mendengarnya.

            Tidak seharusnya Bree berkata dengan nada selembut itu, dengan nada yang terdengar menyakitkan ditelinganya. Harusnya Bree berteriak padanya melampiaskan semua amarah yang ia pendam. Harusnya Bree menamparnya, memukulnya, menendangnya, melakukan semua hal yang ia ingin lakukan, bukannya bertingkah seperti ini. Apa yang harus ia lakukan ketika gadis itu menggenggam erat lengannya seperti ini? Apa yang harus ia lakukan ketika gadis itu masih menatapnya dengan tatapan penuh kasih dan kepercayaan seperti itu?

            Max menutup kedua matanya, bersiap untuk menghadapi gadis itu, untuk menatap kedua mata indah gadis itu yang terakhir kalinya, untuk menyakiti gadis itu, untuk..mendorong gadis itu pergi menjauhinya.

            “Semuanya berakhir sampai disini…”

Bertahun-tahun bersamanya, Bree telah melihat semua raut wajah yang mampu pemuda itu tunjukan padanya tapi belum pernah ia melihat sepasang mata yang terlihat begitu dingin dan kosong seperti ini. Ia nampak tak bernyawa. Dan hal itu di perparah oleh kenyataan pandangan itu ditujukan padanya.

Bree menggigit bibir bawahnya, memalingkan wajahnya dari Max dan memilih memandangi lantai yang entah bagaimana terlihat lebih menarik baginya sekarang.Dia seolah berada dalam perang.Lidahnya tercekat, terasa kelu dan kaku, seperti ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman.

“A-apa?”Suaranya bergetar.Pipinya memanas dan hatinya seperti bom waktu yang siap untuk meledak.

Max hanya mengedikan bahunya menunjukan betapa tidak menariknya pembicaraan ini dan menyingkirkan genggaman gadis itu dari lengannya yang jatuh tak berdaya. Ia bahkan nampak tidak peduli sama sekali dengan hal itu.

“Aku merasa bosan denganmu dan aku lelah dengan semua omong kosong ini.”Semua kata-kata itu keluar begitu saja bagaikan bisa yang keluar dari mulutnya.Ia hanya dapat menelan semuanya didalam kerongkongannya, mengubur semuanya jauh dalam hatinya.

Bahkan Max tidak sanggup untuk sekedar melirik Bree karena jika ia melakukannya hal yang pasti ia lakukan adalah menarik gadis itu dalam dekapannya, memberi tahunya bahwa semua itu hanya lelucon dan meminta gadis itu untuk tetap berada di sampingnya.

Disisi lain, Bree amat sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Max. Ia bahkan tak dapat benar-benar mencerna apa yang dikatakan pemuda itu barusan kepadanya. Ia hanya tak ingin mempercayai kata-kata pemuda itu. Mungkin.Karena baginya semua itu terasa ganjil, terasa tidak nyata untuknya.

“Huh?” Air mata terjun dengan bebas ke kedua belah pipinya.Ia tak dapat menghentikannya lagi sekarang kecuali Max benar-benar mengatakan semuanya hanya lelucon yang ia buat untuk mengerjainya. Kecuali Max menariknya dalam pelukannya dan mengatakan bahwa ia mencintai dan merindukan Bree alih-alih mengatakan hal menyakitkan itu.

“Kurasa sudah cukup jelas aku mengatakannya tadi.”Ia menatap wajah Bree yang kini sudah dipenuhi oleh air mata. Hatinya terasa sakit lalu seketika itu juga hancur berkeping-keping bersama dengan hati gadis itu. Tapi ia harus mengabaikannya, karena inilah yang terbaik untuk mereka berdua. Karena mereka harus bisa melewati semua ini, karena..gadis itu harus melanjutkan hidupnya. Tidak sepertinya yang meninggalkan hati serta hidupnya ditempat Bree berdiri sekarang.

Semakin jauh ia melangkah, maka semakin jauh pula ia meninggalkan semuanya bersama Bree. Dan tanpa sadar air mata juga melucur begitu saja dipipinya.

---

Bree membuka matanya perlahan-lahan, membiarkan cahaya masuk kedalam retina matanya mengusir kegelapan yang tadi mengambil alih penglihatannya. Badannya terasa kaku dan ia tak merasakan apapun pada dirinya. Semuanya terasa… sama. Kaku. Yang dapat ia rasakan hanya tenggorokannya yang terasa kering dan sakit. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, namun nihil. Ia hanya ingat ia menangis sampai ia pingsan. Bahkan ia tak ingat bagaimana ia mulai menangis. Dan hatinyapun terasa sakit.

“Bree..” suara seseorang mencapai telinganya. Ia tidak tahu itu sungguhan atau hanya ilusinya saja. Ia membuka matanya lagi namun cahaya yang tiba-tiba ia lihat membuat matanya sakit. Bree meringis lalu menarik selimutnya lebih tinggi hingga melebihi kepala.

Bree terkejut ketika selimut yang harusnya meutupi seluruh tubuhnya tertarik hingga melewati dagunya dan saat itu ia melihat Lilith, sahabatnya memegangi gelas dan beberapa butir obat yang ia yakini sebagai miliknya.

“Kau harus minum obatnya dulu, Bree..” Lilith membantu Bree duduk dan walaupun ia masih sangat lemah untuk membuka mulutnya ia tetap melakukannya juga karena ia sudah hafal bagaimana keras kepalanya Lilith.

Lilith meletakan gelas kosong itu diatas meja kecil disamping tempat tidur Bree, menatap gadis---lemah---itu penuh rasa khawatir.“Bersemangatlah.Jangan menyakiti dirimu sendiri.” Lilith meraih tangan Bree berniat meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik-baik saja tapi segera Bree menepisnya.

“Pergi kau!” Bree membalikan badannya, menatap sisi lain tempat tidurnya; memunggungi Lilith.

Tentu saja Lilith terkejut dengan sikap dingin Bree padanya tapi ia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu gadis itu. Gadis itu sedang tidak ingin bicara pada siapapun terutama padanya. Bagaimanapun, dengan alasan apapun ia telah berbuat salah pada sahabatnya sendiri. Ia telah membohongi sahabatnya sendiri.

Ia meninggalkankan apartemen Bree setelah mengucapkan salam singkat pada gadis itu dan menghubungi Six segera setelahnya.

---

Hampir tiga bulan berlalu sejak saat itu. Tidak ada perubahan yang signifikan terjadi. Yang ada hanya tubuh Bree yang semakin kurus karena ia hanya akan makan ketika ia merasa lapar, kulitnya yang tidak semempesona biasanya, rambutnya yang berubah menjadi lebih pendek dan berwarna cokelat gelap serta dirinya yang menjauh dari kehidupannya; mengasingkan diri dari kehidupan sosialnya hingga ia merasa siap untuk memulainya lagi.

Kini ia duduk di sudut sebuah kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari apartemennya. Menyesap esspresso tanpa mempedulikan rasa pahitnya.

“Lilith dan Six.Mereka bertengkar hebat dan sekarang sepertinya hubungan mereka tak dapat diselamatkan lagi.” Eric berkata dengan nada penuh harap Bree akan peduli dengan apa yang sedang ia katakan tapi nyatanya gadis itu hanya diam tak tertarik sama sekali.

Eric mendesah frustasi.“Apa kau sama sekali tidak peduli dengan keadaan sahabatmu sendiri, Bree?”

“Memangnya apa yang kau harapkan aku lakukan? Berlari kepada mereka dan memperbaiki hubungan mereka yang tak ada kaitannya sama sekali denganku?”Bree menjawabnya dengan nada ketus dan dingin.

“Kau tidak-“

“Tidak seharusnya bicara seperti itu?Bukankah dari awal mereka yang memutuskan untuk menyembunyikannya dariku dan sampai sekarang masih disembunyikan.Aku lelah Eric, aku sudah muak dengan kebohongan-kebohongan ini. Lagipula, bukankah harusnya aku yang lebih terluka dibandingkan dengan semua orang yang terlibat dalam “drama” ini?”

“Kau bukanlah satu-satunya orang yang paling terluka dari semuanya. Masih ada satu orang lagi tapi kau menutup rapat hati dan pikiranmu untuk mengetahui semua itu.”Eric menggertakan giginya kesal, tak tahan dengan kekacauan yang telah melampaui batas ini. Dan ia rasa selalu dirinya yang harus memperbaiki hal ini. Sekarang atau tidak sama sekali.

Eric menarik paksa lengan Bree, membawanya keluar dari kedai kecil itu, masuk kedalam mobilnya. Bree tidak percaya apa yang terjadi kali ini, apa yang akan di lakukan laki-laki ini padanya. Membawanya ketempat Lilith?Atau mungkin Six?

“Apa yang kau-“ belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya Eric melemparkan sebuah amplop berisi surat padanya.

“Baca itu baru kau boleh berteriak padaku.” Katanya sembari menginjak dalam-dalam pedal gas mobilnya.

Bree membuka surat itu pelan-pelan, membaca deret demi deret kalimat yang tertera di dalamnya dengan hati-hati takut ada yang terlewat. Dan ia tercengang ketika ia melihat isinya.

Max William.

Leukimia.

Positif.

“A-apa ini?Lelucon macam apa ini?”Bree menatap Eric yang fokus pada kegiatan menyetirnya.

---

Max menatap lurus kearah jendela. Menatap langit musim dingin yang kelabu meskipun ini sudah hampir memasuki musim semi. Dan keadaan itu cocok untuk mendeskripsikan bagaimana dirinya kini: lemah, rapuh. Ia hanya dapat berbaring di atas kasur pasien dengan baju rumah sakit yang sama sekali tidak cocok untuknya. Tubuhnya jauh lebih kurus dari sebelumnya, tulang siku yang mencuat menandakan hampir tak ada daging yang menyelimuti tulangnya.Kulit pucat pasi tak terawat, kentara sekali menunjukan betapa tidak sehatnya dia. Bibir kering pecah-pecah yang hampir senada dengan warna kulitnya.Rambut karamelnya yang kini hilang akibat kemoterapi yang hanya ditutupi topi kupluk yang berwarna senada dengan baju rumah sakitnya.Putih.

“Max..” hati Six mencelos melihat teman terdekatnya seperti ini ditambah dengan perpisahannya---tadi siang---dengan Lilith. Meski begitu ia tak mempermasalahkan soal perpisahannya dengan orang yang amat ia cintai, ia juga tidak menyesal membiarkan Max menjadi orang yang egois di akhir sisa hidupnya.

“Maafkan..aku..” Max berkata lirih yang di balas gelengan kepala oleh Six.

“Tak ada yang perlu di maafkan Max.” Lalu keduanya hanya diam. Membiarkan suara mesin yang menempel di tubuh ceking Max berbunyi nyaring sampai mereka mendengar suara pintu yang di banting.

Max dan Six sama terkejutnya melihat Bree berdiri dihadapan mereka dengan kemarahan yang kental di wajah cantiknya. Walaupun nafasnya tersengal-sengal tapi ia tetap berusaha untuk tetap berdiri. Ia mendekat menghampiri ranjang Max dan menampar wajah pemuda itu amat sangat keras hingga muncul semburat merah dipipi kanannya.

“Apa kau sudah gila?!” secara spontan Six berteriak pada gadis itu setelah melihat kejadian---tamparan---yang begitu cepat terjadi di depan matanya. “Dia itu sakit.Bagaimana mungkin kau-“

“Keluar kau Six!Sekarang!” Six melirik ke arah Max yang meberinya anggukan lemah tanda bahwa ia akan baik-baik saja.

Tepat setelah Six keluar, Bree tak dapat membendung air matanya lagi.Ia bahkan membiarkan dirinya terisak-isak mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.

“Kau, memang manusia paling bodoh yang pernah menginjakan kakinya di Bumi.Bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal seperti ini dariku, huh?Bagaimana bisa kau mendorongku keluar dari hidupmu saat kau tahu yang paling kau butuhkan adalah aku. Bagaimana bisa kau memasang tampang baik-baik saja saat kau sama sekali tidak baik-baik saja? Bagaimana bisa?” gadis itu membiarkan tubuhnya jatuh ke lantai, tidak peduli seberapa keras dan dingin permukaannya.Ia mencengkram ujung ranjang Max masih sambil terisak dan kali ini lebih keras.

“Bree..” tangan rapuh Max menggenggam tangan kiri Bree, mengisyaratkan gadis itu untuk bangun. “Aku memang laki-laki paling bodoh karena menyakiti gadis sepertimu.Tapi kau harus tahu betapa sakitnya hatiku ketika aku melakukan hal itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyakitimu, menghancurkan hidupmu. Sama sekali tidak.”Bree menggeleng.Masih terisak.

“Kau tahu, menyakitimu adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan sepanjang hidupku karena aku terlalu mencintaimu. Aku hanya takut jika kau tahu keadaanku seperti ini kau akan jauh lebih terluka. Dan aku juga ingin kau siap jika aku benar-benar harus meninggalkanmu, Bree. Karena sekali aku pergi, tidak akan ada cara lagi untukku kembali. Kau boleh bilang aku egois karena aku juga mempersiapkan diriku untuk melepaskanmu.”

“Max… aku tahu.Aku tahu sejak awal ada suatu yang salah padamu, aku tahu seberapa kasarpun kata-katamu itu semua bukan maksudmu.Aku tahu karena semakin kau memaksaku membencimu aku tetap tidak bisa melakukannya juga.”

Max membuka tangannya, mengisyaratkan Bree untuk mendekat kepadanya dan gadis itu melakukannya dengan sangat hati-hati. Ia takut akan menyakiti Max yang terlihat amat rapuh dimatanya.

Max membawa gadis itu dalam pelukanya, menghirup aroma shampoo kesukaannya. Dia tak akan pernah lelah memeluk gadis itu serapuh apapun dia. Seberapa sedikitpun sisa waktunya. Yang ia inginkan hanya melihat gadis itu, merekam semua yang bisa diingatnya tentang Bree. Tentang cintanya.

“Aku mencintaimu Bree.”

---

Bree duduk di pojok ruangan dengan dress hitamnya bersama ibu Max yang menggunakan pakaian serupa. Ia mengelus-elus punggung wanita renta yang terlihat kuat meski dibuat-buat disampinya itu. Bree tahu sulit baginya menerima semua ini sama persis seperti yang ia rasakan saat ini tapi ia harus kuat. Harus tersenyum sepahit apapun hidupnya seperti apa yang pemuda itu bilang sebelum ia pergi.

“Kau harus kuat.Kau harus terus melanjutkan hidupmu tidak peduli seberapa kerasnya.Dan jangan lupa untuk tersenyum.Kau terlihat sangat cantik ketika kau tersenyum.” Max menyelipkan helaian rambut Bree kebelakang telinga gadis itu.

“Bree..” Bree tersadar dari lamunannya ketika ia mendapati Lilith berdiri di hadapannya dengan air mata yang sudah mengering dipipinya.

Bree bangkit dari duduknya dan memeluk Lilith. Betapa ia rindu memeluk sahabatnya seperti ini. Lilith menepuk-nepuk pundak Bree, memberi tahunya bahwa semua akan baik-baik saja.

“Semuanya akan baik-baik saja Bree.Dia..bahagia sekarang.”

“Aku tahu.”Bree mengangguk.

“Maafkan aku menyembunyikan ini darimu.Aku-“

“Tak apa.Aku tahu.Kalian hanya ingin menjaga perasaanku dan perasaannya. Justru aku yang minta maaf karena telah membuatmu dan Six seperti ini. Dan terima kasih karena telah melakukannya.Aku berhutang padamu.”

Lilith menggeleng.“Tak ada yang perlu di maafkan.Dan berterima kasihlah pada Max, bukan padaku.Karena dia amat sangat mencintaimu, Bree.”

“Hmm..”Bree bergumam, mengangguk, lalu tersenyum.“Dan aku tahu dia mencintaiku sampai nafas terakhirnya.”

End